​Pemilu ditunda, Apa urusannya sama Rakyat?

Tahun 2022 ini adalah tahun penting bagi pemerintahan Indonesia. Di tahun inilah, semua konsep tentang tata kelola demokrasi serta masa depan kehidupan bernegara mulai di re-planning. Sejak tahun 2022 inilah konsep Ibu Kota Nusantara termasuk bagaimana role model demokrasi atau bagaimana mencari konsep yang tepat Pemilihan Umum 2024 mulai ditabuh. 


Kita semua tahu bahwa Bangsa Indonesia terus berbenah menuju kebaikan-kebaikan yang nyata. Menuju sebuah paradigma baru tentang bagaimana nasib bangsa ini di era serba digital. Wajar kalau pemerintah dan partai politik, belakangan ini selalu meneriakkan slogan Indonesia Emas 2045. Tentu celotehan ini bukan tanpa kajian yang serius. Indonesia Emas 2045 sudah pasti akan menjadi tujuan utama arah kemajuan bangsa kita tercinta.


Tanda-tanda itu pun terus di dengungkan oleh tokoh-tokoh bangsa ini. Mulai dari tokoh anak muda yang kini justru pandai pidato ketika mereka sudah bekerja di Luar Negeri sebagai ahli sofware. Hingga membuat Presiden Jokowi pun mengajak dialog anak-anak muda hebat ini, bahkan sampai mengajaknya kembali lagi ke Indonesia. Tapi sayang, entah kenapa mereka masih belum bergegas pulang ke bumi pertiwi.


Menurut Firmansyah, di buku perpustakaan RI, 2021 : Politik selalu menarik untuk dibicarakan. Betapapun pelik dan kisruhnya kehidupan politik, semua orang ingin tahu tentang perkembangannya. Bahkan orang- orang di pedesaan dan para ibu rumah tangga pun semakin gemar berbicara tentang politik, tentu saja dengan porsinya masing-masing. Ranah politik menyentuh hampir di setiap sendi kehidupan kolektif dan individual. Politik juga mempengaruhi tidak hanya wilayah publik tetapi juga ke area yang selama ini kita anggap personal atau privat. Sehingga tidak aneh jika politik menjadi topik pembahasan yang tiada henti. Pembicaraan politik di warung kopi pastilah berbeda dengan diskusi politik serba ‘serius’ di lingkungan akademik maupun perundingan trik-trik politik di kalangan praktisi politik.

Dunia politik telah bergerak mengikuti perkembangan masyarakat yang telah banyak berubah dari mulai struktur sampai pola interaksi sosial bermasyarakat, sehingga hubungan politik dengan masyarakat kini adalah hubungan dua arah dimana satu sama lain saling mempengaruhi dengan munculnya globalisasi, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Sehingga metode yang digunakan dalam berpolitik pun mengalami banyak penyesuaian dengan pendekatan-pendekatan baru agar sesuai dengan gerak perubahan zaman, termasuk Indonesia sebagai negara yang berniat menerapkan demokrasi yang adil dan beradab. Apalagi bila mengingat bahwa sejarah politik di Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai sejarah yang serba cemerlang.


Tokoh dunia, Margaret Thatcher sang Wanita Besi, juga mantan Perdana Menteri Inggris pernah mengatakan, 

“Jika Anda hanya ingin disukai, Anda akan siap untuk berkompromi pada apa saja kapan saja, dan Anda tidak akan mencapai apa pun.” -

Nah, dalam konteks bongkar pasang sistem pemilu 2024 ini, maka marilah kita tarik dari bawah. Apa manfaatnya buat masyarakat. Kalau warga NU biasa memikirkan jauh ke depan atau one step a head. Banyak mana, Mudhorotnya atau Manfaatnya.


Inilah yang harus kita kaji dalam-dalam. Jangan tiba-tiba mendukung, jangan tiba-tiba menolak. Itu sama saja dengan kita ini semua tidak pernah sekolah dan kurang jauh dolan-nya. 


Mulai kita kaji lagi secara konstitusi. Banyak orang bicara kalau penundaan pemilu adalah sesuatu hal baru yang aneh. Apalagi dalam konstitusi negara kita khususnya dalam Undang - Undang Dasar 1945 jelas disebutkan bahwa jabatan presiden ada batasannya. Tegas di UUD 1945 Pasal 7 bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.


Tapi perlu dicatat, pasal tersebut adalah hasil dari amandemen pertama UUD 1945 yang sebelumnya berbunyi : ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali’. Kala itu, kepentingan besarnya adalah supaya tidak ada lagi presiden yang memiliki jabatan tanpa batasan. Kita ingat, Presiden Soekarno pada tahun 1963 juga pernah ditetapkan MPRS pengangkatan Presiden Seumur hidup. Sehingga Soekarno memimpin negeri ini dari tahun 1945-1967 atau 22 Tahun lamanya. Kemudian Soeharto yang memimpin Indonesia dari 1966 hingga 1998 atau 32 tahun. Lalu dibuatlah amandemen agar kejadian tersebut tidak terulang lagi bagi bangsa ini.


Artinya apa? Konstitusi ini masih bisa diubah-ubah, karena konstitusi tidak lain adalah hasil kesepakatan Musyawarah mufakat atas dasar beragam pertimbangan serta tujuan yang lebih besar bagi kepentingan bangsa ini. Maka, bukan tidak mungkin, sehingga para politisi baik itu dari PKB, PAN dan Golkar pun melemparkan wacana penundaan pemilu 2024.


Apakah amandemen atau perubahan konstitusi itu tabu bagi sebuah negara? Untuk soal ini, mari kita tanya perkembangan sosio people. Berapa banyak masyarakat yang dirugikan karena penundaan pemilu dari 2024 menjadi 2027. Silakan Badan Sensus melakukan survey yang akurat. Misalnya, dari sisi ekonomi, apakah ada yang dirugikan ketika pemilu ditunda dari 2024 ke 2027. Ada berapa usaha percetakan atribut pemilu yang terancam merosot pendapatannya ketika pemilu ditunda. Kalau memang ada, ya harus ada subsitusinya. Kalau ternyata pelaku usaha sudah biasa mandiri, ada atau tidak ada pesanan atribut kampanye, omzet masih bagus, maka why not. Lalu apa lagi dan apa lagi, silakan pemerintah terjun ke masyarakat. Temui rakyat, dengarkan mereka, supaya tidak gampang bikin kebijakan-kebijakan yang berdampak luas. Jangan sampai kebijakan pemilu ditunda, kemudian menambah jumlah penduduk miskin. Naudzubillahimindalik.


Psikologis massa sangat penting dalam mendukung kemajuan sebuah negara. Percepatan perkembangan zaman 5 tahun belakangan ini cenderung diubah oleh pelaku pelaku teknologi. Misalnya, transportasi. Masyarakat dipaksa berubah menjauhi transportasi umum lokal untuk menjadi transportasi online. Bahkan layanan pembelian makanan pun bisa dari rumah saja. Lalu e-commerce, dalam sekejap, toko-toko besar supermarket pun bergelimpangan kalah dengan jual beli online.  Dan sebagaianya, masih banyak lagi yang akhir-akhir ini masyarakat mau tidak mau harus belajar dan merasa nyaman dengan perkembangan zaman ini.


Sehingga, dari sekian perubaban zaman yang semakin maju ini, tinggal tata cara pemilihan umum yang belum pernah berubah. Dari zaman pemilu 1955 sampai 2019 masih pakai cara coblos ke TPS. Tidak ada perkembangan sama sekali. Bahkan usulan e-voting pun susah payah tidak dilakukan. Padahal negara lain sudah banyak yang menggunakan cara baru ini. 


Sekarang, tinggal masyarakat yang seharusnya bisa menentukan. Minimal mengusulkan cara yang paling mudah untuk menangkap setiap kebijakan politik di negeri demokrasi ini. Saya masih yakin, apapun keputusan pemerintah, adalah terbaik untuk rakyatnya. 


Riko Abdiono

Penulis adalah Jurnalis Surabaya Pagi

Ketua Pokja Wartawan Politik Jawa Timur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Kerja http://www.online-home-jobs.com

​Peluang Pasangan Ganjar - Khofifah di Pilpres 2024, Kemarin Pemilihnya Tembus 20 Juta

Februari